Tasawuf ialah bentuk kebajikan
spiritual dalam Islam yang dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan
dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan syariat Islam. Jalan-jalan
kerohanian dalam ilmu tasawuf dikembangkan dengan tujuan membawa seorang sufi
menuju pencerahan batin atau persatuan rahasia dengan Yang Satu. Di sini jelas
bahwa landasan tasawuf ialah tauhid. Menurut keyakinan para sufi, apabila kalbu
seseorang telah tercerahkan dan penglihatan batinnya terang terhadap yang
hakiki, maka ia berpeluang mendapat persatuan rahasia (fana’) dengan Yang
Hakiki. Apabila demikian maka dia akan dapat merasakan pengalaman paling indah,
yaitu hidupnya kembali jiwa dalam suasana baqa` (kekal). Ia lantas tahu
cara-cara membebaskan diri dari kesementaraan alam zawahir (fenomenal) yang
melingkungi hidupnya, serta merasakan kedamaian yang langgeng sifatnya.
Ikhtiar untuk mencapai keadaan rohani
(ahwal, kata jamak dari hal) semacam itu dimulai dengan mujahadah, yaitu
perjuangan batin melawan kecenderungan nafsu rendah yang dapat membawa kepada
pengingkaran terhadap Yang Haqq. Ujung perjalanan melalui mujahadah disebut
musyahadah, yaitu penyaksian secara batin bahwa Tuhan benar-benar satu, tiada
kesyakan lagi terhadap-Nya. Jadi yang terbit dari keadaan musyahadah ialah haqq
al-yaqin. Jiwa yang menerima keadaan rohani semacam itu disebut faqir,
yaitu kesadaran tidak memiliki apa pun selain cinta kepada-Nya dan karenanya
bebas dari kungkungan selain Dia.
Ini tidak berarti seorang faqir
tidak mempunyai perhatian kepada yang selain Dia, yakni alam sekitarnya, dunia
dan sesamanya, tetapi semua itu dilihat dengan mata hati yang terpaut kepada
Dia semata. Dengan demikian seseorang tidak hanya terkungkung oleh
bentuk-bentuk dan penampakan zahir kehidupan, tanpa melihat hakekat dan hikmah
yang dikandung dalam semua peristiwa dan kejadian.
Dalam Mantiq al-Tayr karangan
Fariduddin `Attar digambarkan secara simbolik bahwa jalan kerohanian
dalam ilmu Tasawuf ditempuh melalui tujuh lembah (wadi), yaitu: lembah pencarian
(talab), cinta (`isyq), makrifat (ma`rifah),
kepuasan hati (istighna), keesaan (tawhid), ketakjuban
(hayrat), kefakiran (faqr) dan hapus (fana`).
Namun `Attar menganggap bahwa secara keseluruhan jalan tasawuf itu sebenarnya
merupakan jalan cinta, dan keadaan-keadaan rohani yang jumlahnya tujuh itu
tidak lain adalah keadaan-keadaan yang bertalian dengan cinta. Misalnya ketika
seseorang memasuki lembah pencarian. Cintalah sebenarnya yang mendorong
seseorang melakukan pencarian. Adapun kepuasan hati, perasaan atau keyakinan
akan keesaan Tuhan, serta ketakjuban dan persatuan mistik merupakan tahapan keadaan
berikutnya yang dicapai dalam jalan cinta.
Banyak orang berpendapat bahwa para
sufi mengingkari pentingnya akal dan pikiran dalam menjawab soal-soal
kehidupan. Pernyataan ini tidak benar sama sekali. Syah Nikmatullah Wali
dalam menerangkan bahwa akal dan cinta merupakan dua sayap dari burung yang
sama, yaitu jiwa. Katanya:
Akal dipakai untuk memahami
Keadaan manusia selaku hamba-Nya
Cinta untuk mencapai kesaksian
Bahwa Tuhan itu Satu
Pengakuan akan keesaan hanya
diperuntukkan bagi Allah s. w. t. Sedangkan makrifat diperuntukkan orang yang
telah mencapai hakekat. Cinta adalah penghubung atau pengikat antara kita
dengan-Nya. Jadi cinta ialah pengikat, penghubung, laluan, tangga naik menuju
Tauhid. Di mana saja Cinta menjelaskan bahwa tujuan hanya satu, yaitu
kemutlakan dan kebenaran Yang Haqq. Cinta di sini dapat dipandang sebagai
metode.
Sebagai bentuk spiritualitas Islam,
Tasawuf pada mulanya muncul sebagai gerakan zuhud, yaitu sikap mengingkari
gejala kemewahan dan materialisme yang berlebihan dengan memperbanyak ibadah.
Gejala materialisme dan kecendrungan akan kemewahan melanda masyarakat kelas
atas dan menengah Muslim pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Sebagai gerakan
zuhud Tasawuf menekankan kepada sikap tawadduk dan tawakkal. Pada akhir abad
ke-8 M gerakan ini mengubah diri menjadi Jalan Cinta, yang dipelopori oleh
Rabi`ah al-Adawiyah, Dhun Nun al-Misri, Harits al-Muhasibi dan lain-lain.
Istilah yang digunakan untuk cinta ialah mahabbah dan penggunaan istilah ini
didasarkan pada ayat al-Qur`an 5:57, “yuhibbukum wa yuhibunakum” (Dia
mencintai mereka dan/sebagaimana mereka mencintai-Nya).
Pada akhir abad ke-9 dan 10 M,
dengan munculnya tokoh terkemuka seperti Hasan al-Nuri, Bayazid
al-Bisthami dan Mansur al-Hallaj, untuk cinta dipergunakan istilah
yang lebih dalam pengertiannya, yaitu `isyq, yang berarti cinta berahi.
Kata-kata ini diambil dari Hadis “`asyiqani wa asyiqtuhu” yang menurut Ibn
Sina menjelaskan bahwa puncak dari cinta sejati ialah persatuan mistikal
(rahasia) dengan Dia yang dicintai.
Bersamaan dengan itu, terutama
dengan munculnya al-Hallaj. semakin disadari bahwa pengalaman cinta ternyata
tidak hanya merupakan keadaan jiwa atau rohani yang diliputi oleh sejenis
perasaan, seperti kegairahan dan kemabukan mistikal (wajd dan sukr). Dalam
pengalaman cinta yang bersifat transendental seseorang juga belajar mengenal
dan mengetahui lebih mendalam yang dicintai, dan dengan demikian cinta juga
mengandung unsur kognitif. Bentuk pengetahuan yang dihasilkan oleh cinta ialah
makrifat dan kasyf, tersingkapnya penglihatan batin. Di sini seorang ahli
Tasawuf telah mencapai hakekat dan melihat bahwa hakekat yang tersembunyi di
dalam segala sesuatu sebenarnya satu, yaitu wujud dari Pengetahuan, Keindahan
dan Cinta-Nya.
Walaupun istilah `isyq tidak
terdapat dalam al-Qur`an, namun para sufi memandang perkataan itu tidak
bertentangan artinya dengan mahabbah. Menurut Rumi, `isyq ialah mahabbah
dalam peringkat yang lebih tinggi dan membakar kerinduan seseorang sehingga
bersedia menempuh perjalanan jauh menemui Kekasihnya. Dalam bahasa Melayu
istilah `isyq untuk pertama kalinya digunakan oleh Hamzah Fansuri dalam
sajak-sajak sufistik dan risalah tasawufnya Syarab al-`Asyiqin. (Minuman Orang
Berahi). Minuman orang berahi itu ialah anggur atau serbat Tauhid, dan pembawa
piala anggurnya ialah Dia.
Banyak ayat al-Qur`an yang
menekankan keutamaan cinta. Misalnya QS. 19:97 di mana Allah berfirman
bahwa Dia akan mengaruniakan cinta kepada orang beriman yang berbuat
kebajikan. Selain mengandung dimensi religius, ayat ini mengandung dimensi
moral/sosial.
Sebelum menguraikan penjelasan
`Attar dalam Mantiq al-Tayr, sebuah alegori sufi yang masyhur, saya akan
mengantarkannya dengan membahas pengertian cinta yang diterima secara umum di
kalangan ahli tasawuf. Ada dua katagori cinta yang dibahas para sufi, khususnya
oleh kalangan wujudiyah, yaitu: (1) Cinta Ilahi itu sendiri, dan (2) Cinta
mistikal atau kesufian. Cinta mistikal mengandung jalan menuju persatuan
mistikal dan makrifat, dan ia merupakan bentuk pengalaman religius yang tinggi
dengan beberapa keadaan rohani yang menyertainya.
Cinta ilahi yang dimaksud para sufi
ialah Wujud-Nya ketika turun dari alam Dzat-Nya yang tak dikenal, yaitu alam
hahut, menuju alam ketuhanan (alam lahut) di mana Dia mulai memunculkan Diri
sebagai Khaliq atau Pencipta, dan selanjutnya dikenal sebagai Rabb al-`Alamin,
Penguasa sekalian alam. Para sufi merujukkan konsep mereka tentang Tuhan
sebagai wujud tunggal, yaitu Sifat-sifat-Nya dan Pengetahuan-Nya yang meliputi
alam semesta, kepada beberapa ayat al-Qur`an dan Hadits qudsi.
Hadis qudsi yang dijadikan rujukan
ialah, “Kuntu kanzan makhfiyyan ahbabtu an u`rafa...” (Aku ialah
Harta Tersembunyi, Aku cinta supaya dikenal...). Para sufi memandang Harta
Tersembunyi (kanz makhfiyy) sebagai lautan ilmu-Nya yang tak terhingga luasnya.
Di sini dikatakan Tuhan mencipta alam semesta dan makhluq-makhluq yang lain
didorong oleh cinta-Nya kepada pengetahuan-Nya yang tersembunyi dan bentuk
cinta yang mendorong itu berupa kehendak agar ilmu-Nya dikenal. Dengan demikian
Cinta merupakan prinsip penciptaan dan sekaligus penampakan Wujud Tuhan yang
asali. yang termanifestasikan dalam rahmat-Nya. Rahmat Tuhan terdiri dari dua,
rahmah dzatiyyah atau essensial, yaitu rahman, dan rahmah wujub atau wajib,
disebut rahim. Jadi cinta ilahi yang dimaksud para sufi termaktub dalam kalimah
Basmallah.
Cinta Tuhan yang pertama disebut
rahmat esensial oleh sebab dilimpahkan kepada semua makhluq-Nya dan seluruh
umat manusia tanpa mengenal ras, bangsa, kaum dan agama. Sedang rahmat wajib,
yaitu kasih atau rahim-Nya, hanya dilimpahkan pada orang-orang tertentu yang
dipilih-Nya, yaitu mereka yang tawakkal, beriman dan berbuat kebajikan di muka
bumi
Ayat al-Qur`an yang melukiskan
tentang penciptaan awal, yaitu “Kun fayakun!” (Jadilah! Maka menjadi!)
dijelaskan melalui Hadis di atas. Kehendak Tuhan untuk menjadikan atau
menciptakan alam semesta dengan segala isinya didorong oleh cinta kepada kanz
makhfiyy-Nya, yaitu hikmah atau ilmu-Nya yang tak terhingga dan belum dikenal.
Karena itu dalam metafisika sufi Tuhan sebagai Khaliq disebut juga Wujud, Ilmu
(dan karena mempunyai `Ilmu maka Dia Maha Mengetahui atau `Alim). Sebutan lain
ialah Syuhud (Kesaksian) dan karena mempunyai kesaksian terhadap Wujud dan
Ilmu-Nya, maka Dia Maha Melihat. Dengan Ilmu-Nya penciptaan muncul dari alam
ketiadaan dan kegelapan, dan diterangi. Karena itu Tuhan disebut sebagai Cahaya
(Nur) di atas cahaya, sebagaimana disebut dalam Surah al-Nur.
Dengan demikian Cinta ilahi ialah
wujud-Nya, dan Wujud-Nya ialah Sifat-sifat-Nya yang diringkas dalam al-rahman
dan al-rahim, juga Pengetahuan-Nya dan Nur-Nya, yang meliputi alam semesta.
Cinta ilahi juga merupakan rahasia penciptaan (sirr al-khalq) atau sebab
penciptaan (illah al-khalq). Ayat lain yang dijadikan rujukan ialah al-Qur`an
65:12, yang maksudnya, “Allah lah yang mencipta tujuh langit dan bumi.
Perintah Allah berlaku kepada mereka agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar
meliputi segala sesuatu.”
Mengenai cinta pada manusia ada dua
macam, yaitu cinta mistikal/rohani dan cinta alami/kodrati. Cinta mistikal
tertuju kepada Tuhan, cinta kodrati tertuju kepada sesama manusia dan
lingkungan sekitar. Cinta jenis kedua ini dapat dijadikan tangga naik menuju
cinta mistikal, dan sebaliknya cinta mistikal dapat mengubah bentuk-bentuk
cinta yang kedua menjadi lebih tinggi. Pelaksanaan cinta kedua ini dirumuskan
oleh al-Qur`an dengan istilah amar makruf nahi mungkar atau solidaritas sosial
yang bertujuan membentuk lingkungan masyarakat yang diridhai Tuhan,
berkeadilan, beradab dan berperikemanusiaan.
Cinta mistikal merupakan
kecendrungan yang tumbuh dalam jiwa manusia terhadap sesuatu yang lebih tinggi
dan lebih sempurna dari dirinya, baik keindahan, kebenaran maupun kebaikan yang
dikandungnya. Ada beberapa ayat al-Qur`an yang dijadikan rujukan terhadap cinta
semacam ini. Pertama ayat yang mengemukakan tentang wajibnya manusia mencintai
Tuhan supaya manusia mengenal kedudukannya sebagai khalifah-Nya di muka bumi
dan sekaligus sebagai hamba-Nya, atau supaya manusia mengenal dirinya yang
hakiki sebagai mahluk spiritual dan asal-usul kerohaniannya, serta
kewajiban-kewajibannya dalam memenuhi cintanya tersebut. Memenuhi kewajibannya
dalam cinta berarti melakukan perjalanan naik atau transendensi, menembus yang
formal menuju yang hakiki.
Para sufi menyebut perjalanan
mendaki dari bentuk formal atau syariat kepada yang hakiki atau makrifat sebagai
taraqqi. Istilah ini ada kaitannya dengan sebutan tariqat. Perjalanan mendaki
tersebut oleh Rumi disebut sebagai ‘perjalanan dari diri ke diri’, yakni dari
diri dalam kedudukan rendah menuju diri dalam kedudukan mulia/tinggi. Dalam
sastra fusi perjalanan tersebut sering digambarkan secara simbolik sebagai
penerbangan burung (jiwa) ke puncak gunung, atau perjalanan ke puncak bukit
yang tinggi seperti dialami Nabi Musa a. s. di Thursina, atau penyelaman ke
lubuk lautan (wujud) untuk mencari air hayat (makrifat) sebagaimana dilakukan
Iskandar Zulkarnaen atau Bima dalam cerita Dewa Ruci, atau pelayaran kapal
menuju bandar Tauhid. Perjalanan ke puncak bukit tertinggi kadang-kadang
dilukiskan sebagai perjalanan mencari Kekasih, sebagaimana tampak dalam syair-syair
Hamzah Fansuri.
Ayat al-Qur’an yang dirujuk dalam
melukiskan perlunya jalan cinta dalam tasawuf antara lain ialah, “Aku
mencipta jin dan manusia tiada lain supaya mereka mengabdi/beribadah kepada-Ku”
(QS. 51:56) Di dalam ayat ini tersirat pengertian bahwa dalam jalan
cinta terdapat pengabdian kepada Yang Dicintai. Selain itu para sufi juga
menghubungkan pencapaian di jalan cinta dan peroleh pengetahuan yang mendalam
tentang Yang Hakiki. Ibnu Abbas misalnya menafsir perkataan “supaya beribadah
kepada-Ku” dalam ayat di atas sebagai “supaya mencapai pengetahuan-Ku (melalui
jalan cinta)”
Jenis cinta mistikal yang lain ialah
berupa cinta yang terbit dari kerinduan manusia kampung halamannya yang sejati
yang didiaminya pada Hari Alastu dulu, yakni sebelum dia diturunkan ke dunia
dan masih berupa roh yang bersujud di hadapan Tuhan. Pada hari itu manusia
masih dekat dan bersatu dengan Tuhannya, dan berikrar tidak mengakui Rabb yang
lain kecuali Kekasihnya Yang Haqq, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur`an 7:
“Alastu bi rabbikum? Qawlu bala syahidna!” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?
Ya, aku bersaksi!”) Perkataan Alastu diambil dari perkataan pertama dalam
kalimah pengakuan tersebut. Ia disebut juga sebagai Hari Mitaq atau Hari
Perjanjian, dan merupakan pengalaman asali manusia paling indah karena masih
bersatu dengan-Nya, belum terbuang dan berpisah dari-Nya.
Sesudah manusia diturunkan ke dunia,
rohnya disatukan dengan tubuhnya, gema suara yang didengarnya di Hari Alastu
itu terekam di lubuk kesadaran atau kalbu manusia. Gema itu dapat didengar
kembali pada saat manusia mengalami krisis batin yang hebat, yang menyebabkan
kerinduannya kepada Yang Satu timbul kembali. Di antara krisis batin hebat itu
ialah apabila manusia menyadari bahwa ia sebatang kara di dunia, merasa sunyi
sebagai anak dagang yang berada di perantauan yang jauh, merasa terbuang dan
terasing. Kerinduan manusia kepada kampung halamannya di Hari Alastu itu,
menurut Rumi, dapat melahirkan seni musik dan puisi bermutu tinggi. Kerinduan
mempunyai wajah ganda, riang dan sedih, atau campuran antara keduanya, dan ini
merupakan asas semua seni. Seni yang lahir dari keadaan rohani semacam itu
dapat dijadikan sarana transendensi. Hal ini digambarkan oleh Rumi dalam
mukadimah karya agungnya Mathnawi. Rumi mengibaratkan kerinduan manusia pada
pengalaman mistikal primordial di Hari Alastu sebagai kerinduan seruling untuk
bersatu kembali dengan rumpun bambu, yang merupakan asal usulnya, dan
kerinduannya itulah yang merupakan sumber suaranya yang merdu:
Dengar lagu sendu seruling bambu
menyampaikan kisah pilu perpisahan
Tuturnya, “Sejak daku tercerai dari
indukku
rumpun bambu naung dan rimbun
Ratapku membuat lelaki dan wanita
mengaduh --
Kuingin sebuah dada koyak disebabkan
rindu
Agar dapat kupaparkan kepiluan berahi
cinta
Setiap orang yang berada jauh dari
kampung halamannya
Akan rindu untuk merasakan kembali
Saat-saat ketika dia masih bersatu
dengan-Nya
Dalam setiap pertemuan kunyanyikan
nada-nada senduku
Bersama yang riang dan sedih aku
berkumpul
Rahasia laguku tak jauh dari ratapku
Namun tiada telinga mendengar dan
mata melihat
Tubuh tidak terdinding dari roh, pun
roh
Namun tak seorang diperkenankan
melihat roh.”
Riuhnya suara seruling adalah
kobaran api
Bukan suara hembusan angin
Cinta semacam itu menurut Imam
al-Ghazali timbul karena adanya munasabah, yaitu daya saling tarik antara
seseorang yang mencintai dan dia yang dicintai. Sadrudin al-Qunyawi,
yang hidup sezaman dengan Rumi di kota yang sama, Konya Turki, menjelaskan
bahwa munasabah membawa seseorang berjalan jauh tanpa memperhatikan bahaya dan
rintangan menuju tempat yang dicintai, dengan maksud mencapai persatuan rahasia
(mistikal). Cinta manusia kepada Tuhan tumbuh dari kesadaran bahwa manusia
tidak sempurna dan berhasrat mengurangi ketaksempurnaan, dan kesempurnaan hanya
milik Tuhan. Tuhan mencintai manusia karena manusia merupakan ciptaan-Nya yang
paling sempurna dan indah, dan apabila manusia menyempurnakan potensi
kerohanian dan moral yang ada dalam dirinya, maka ia menjadi alamat daripada
tanda-tanda keindahan-Nya. Karena Tuhan Maha Indah dan mencintai keindahan (Inna
Allah al-jamil wa yuhibbu al-jamal), maka manusia yang mencapai keadaan
semacam itu dikatakan akan dilimpahi cinta.
Munasabah berakar dalam wujud asali
ketuhanan, yaitu cintanya agar Harta Tersembunyi-Nya dikenal, dan juga berakar
dalam pesona Hari Alastu, di mana manusia berikrar hanya akan mentaati dan
mencintai Yang Satu. La ilaha ill Allah.
Sekarang marilah kita bahas jalan
cinta yang dikemukakan `Attar, bersama contoh-contoh keadaan rohani yang
ditimbulkannya, sebagaimana digambarkan dalam Mantiq al-Tayr. Namun sebelum itu
kami hendak memaparkan sedikit riwayat hidup `Attar dan karya-karyanya.
`Attar (1130-1220 M) ialah seorang sufi dan sastrawan Persia terkemuka. Di
Nisyapur, kota kelahirannya, dia juga dikenal sebagai seorang ahli farmasi dan
saudagar minyak wangi yang kaya raya. Perjalanan hidupnya berubah pada suatu
hari ketika di toko minyak wanginya yang besar datang seorang fakir tua renta
yang tak berduit satu sen pun. Melihat fakir yang dikiranya akan mengemis itu
`Attar segera bangkit dari tempat duduknya, menghardik dan mengusirnya agar
pergi meninggalkan tokonya. Dengan tenang fakir itu menjawab, “Jangankan
meninggalkan tokomu, meninggalkan dunia dan kemegahannya ini bagiku tidak
sukar! Tetapi bagaimana dengan kau? Dapatkah kau meninggalkan kekayaanmu,
tokomu dan dunia ini?” `Attar tersentak, lalu menjawab spontan, “Bagiku juga
tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini!”
Sebelum `Attar selesai menjawab,
fakir tua renta itu rebah dan meninggal seketika. `Attar terperanjat. Sehari
kemudian, setelah menguburkan fakir itu selayaknya, `Attar menyerahkan
penjagaan toko-tokonya yang banyak di Nisyapur kepada sanak-saudaranya dan dia
sendiri mengembara ke seluruh negeri untuk menemui para guru tasawuf yang
kesohor, tanpa membawa uang satu peser pun. Beberapa tahun kemudian, dalam usia
35 tahun, dia kembali ke tanah kelahirannya sebagai guru kerohanian yang
masyhur. Dia melanjutkan lagi profesinya sebagai ahli farmasi dan saudagar
minyak wangi, di samping memberikan latihan-latihan kerohanian dan membuka
sejumlah sekolah. Kekayaannya semakin bertambah-tambah, demikian pula
kemasyhurannya sebagai seorang sufi.
Salah satu kepandaian `Attar yang
telah lama dikenal penduduk Nisyapur ialah kemahirannya bercerita. Ia sering
melayani pasien-pasien dan pelanggannya dengan bercerita sehingga memikat
perhatian mereka. Apabila sedang tidak ada pelanggan datang, dia pun menulis
cerita. Di antara karya `Attar yang terkenal ialah Thadkira al-`Awlya (Anekdote
Para Wali), Ilahi-namah (Kitab Ketuhanan), Musibat-namah (Kitab Kemalangan) dan
Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung). Semua karyanya itu ditulis dalam bentuk
prosa-puisi yang indah, kaya dengan hikmah dan kisah-kisah perumpamaan yang
menarik.
Mantiq al-Tayr
menceritakan.penerbangan burung-burung mencari raja diraja mereka Simurgh yang
berada di puncak gunung Qaf yang sangat jauh dari tempat mereka berada.
Perjalanan itu dipimpin oleh Hudhud, burung kesayangan Nabi Sulaiman a.s. yang
melambangkan guru sufi yang telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi.
Sedangkan burung-burung melambangkan jiwa atau roh manusia yang gelisah
disebabkan kerinduannya kepada Hakekat Ketuhanan. Simurgh sendiri merupakan
lambang diri hakiki mereka dan sekaligus lambang hakekat ketuhanan. Perjalanan
itu melalui tujuh lembah, yang merupakan lambang tahap-tahap perjalanan sufi
menuju cinta ilahi. Dalam tiap tahapan (maqam) seorang penempuh jalan akan
mengalami keadaan-keadaan jiwa/rohani (ahwal, kata jamak dari hal). Uraian
keadaan rohani yang disajikan `Attar menarik karena menggunakan kisah-kisah
perumpamaan. Pada akhir cerita `Attar menyatakan bahwa ternyata hanya tiga
puluh ekor burung (si-murgh) yang mencapai tujuan, dan Simurgh tidak lain ialah
hakekat diri mereka sendiri.
Lembah-lembah yang dilalui para
burung itu ialah: Pertama, lembah talab atau pencarian. Di lembah ini banyak
kesukaran, rintangan dan godaan dijumpai oleh seorang salik (penempuh jalan).
Untuk mengatasinya seorang salik harus melakukan berbagai ikhtiar besar dan
harus mengubah diri sepenuhnya, dengan membalikkan nilai-nilai yang dipegangnya
selama ini. Kecintaan pada dunia harus dilepaskan, baru kemudian ia dapat
terselamatkan dari bahaya kehancuran diri dan sebagai labanya dapat menyaksikan
cahaya kudus Keagungan Ilahi. Hasrat-hasrat murni kita dengan demikian juga
akan berlipat ganda. Seseorang yang berhasil mengatasi diri jasmani dan dunia
akan dipenuhi kerinduan kepada yang dicintai dan benar-benar mengabdikan diri
kepada Kekasihnya. Tidak ada masalah lain baginya kecuali mengejar tujuan murni
hidupnya dan dia pun tidak takut kepada naga-naga kehidupan, yaitu hawa
nafsunya. Ia tidak mempermasalahkan lagi keimanan dan kekufuran, sebab dia
telah berada dalam Cinta. Kata `Attar, “Apabila kau gemar memilih di antara
segala sesuatu yang datang dari Tuhan, maka kau bukan penempuh jalan yang baik.
Apabila kau suka memandang dirimu sendiri dimuliakan karena memiliki intan dan
emas segudang, dan merasa dihinakan karena hanya memiliki setumpuk batu, maka
Tuhan tidak akan menyertaimu. Ingatlah, jangan kau sanjung intan dan kau tolak
batu, karena keduanya berasal dari Tuhan. Batu yang dilemparkan oleh kekasih
yang setia lebih baik daripada intan yang dijatuhkan oleh seorang wanita
perusak rumah tangga.”
Di lembah pencarian seseorang harus
memiliki cinta dan harapan. Dengan cinta dan harapan orang dapat bersabar. Kata
`Attar, “Bersabarlah dan berusahalah terus dengan harapan memperoleh petunjuk
jalan (hidayah). Kuasailah dirimu dan jangan biarkan kehidupan lahiriah dan
jasmaniah menawan serta menyesatkanmu!”
Kedua, lembah Cinta (`isyq). `Attar
melambangkan cinta sebagai api yang bernyala terang, sedangkan pikiran sebagai
asap yang mengaburkannya. Tetapi cinta sejati dapat menyingkirkan asap. Di sini
`Attar mengartikan cinta sebagai penglihatan batin yang terang, sehingga tembus
pandang, artinya dapat menembus bentuk-bentuk formal kemudian menyingkap
rahasia-rahasia terdalam dari ciptaan. Orang yang cinta tidak memandang segala
sesuatu dengan mata pikiran biasa, melainkan dengan mata batin. Hanya dia yang
telah teruji dan bebas dari dunia serta kungkungan benda-benda, berpeluang
memiliki penglihatan terang. Caranya ialah dengan penyucian diri, sebagaimana
dikatakan Rumi:
Indra tubuh adalah tangga menuju
dunia
Indra keagamaan tangga menuju langit
Mintalah kesehatan tubuh kepada
dokter
Namun kesehatan jiwa dan rohani
Hanya didapat dari kekasih Allah
Jalan rohani meruntuhkan (hasrat)
tubuh
Sesudah itu rumah yang lebih megah
dibangunnya
Lebih baik merubuhkan rumah demi
harta karun
Dan dengan harta itu membangun rumah
baru
Dibanding mempertahankan rumah usang
Bendunglah air dan bersihkan dasar
sungai
Baru kau alirkan air minum dari
dalamnya
Belahlah kulit dan cabutlah bulunya
Lalu segarkan kulit menutupi luka
Ratakan benteng dengan tanah,
rebutlah ia
Dari tangan orang mungkar dan kafir
Lalu dirikan ratusan menara
Dan tempat berlindung di atasnya
Siapakah orang mungkar dan kafir itu
Dia tak lain ialah hawa nafsumu
sendiri
`Attar sendiri mengatakan, “Dia yang
menempuh jalan tasawuf hendaknya memiliki seribu hati, sehingga setiap saat ia
dapat mengurbankan yang satu tanpa kehilangan yang lain.” Di sini Cinta
dikaitkan dengan pengurbanan. Para sufi merujuk kepada kepatuhan Nabi Ismail
a.s. kepada perintah Tuhan. yang bersedia dijadikan qurban oleh ayahnya Nabi
Ibrahhim. a.s. Peristiwa inilah yang dijadikan landasan upacara Idul Qurban.
Kata-kata qurban berasal dari qurb yang berarti hampir atau dekat. Jadi
berkurban dalam cinta berarti berusaha memperdekat langkah kita untuk mencapai
tujuan, yaitu Cinta Ilahi.
Salah satu ciri cinta sejati dalam
arti penglihatan batin terang dan dengan itu mampu menembus bentuk zahir segala
sesuatu sehingga mencapai hakekatnya yang terdalam. Karena dapat melihat dari
arah hakekat, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari
orang lain tentang dunia dan kehidupan Pencinta sejati bebas dari kungkungan
bentuk-bentuk lahir. `Attar menuturkan kurang lebih sebagai berikut:
Ketahuilah wahai yang tak pernah
diberi tahu!
Di antara pencinta, burung-burung
itu telah bebas
Dari kungkungan sangkarnya sebelum
ajal mereka tiba
Mereka memiliki perkiraan dan
gambaran lain tentang dunia
Mereka memiliki lidah dan tutur yang
berbeda pula
Di hadapan Simurgh mereka luluh dan
bersimpuh
Mereka mendapat obat demi kesembuhan
mereka dari penyakit
Sebab Simurgh mengetahui bahasa
sekalian burung
Ketaatan kepada orang yang dicintai
merupakan tanda seorang pencinta sejati. Namun demikian di jalan Cinta banyak
sekali godaan dijumpai oleh seorang pencinta. Dalam Mantiq al-Tayr `Attar
memberi contoh kisah Syekh San`an dan Gadis Yunani beragama Kristen. Ketika
menjadi pencinta Syekh San`an menuruti perintah kekasihnya, dia memeluk agama
Kristen dan ketika Putri Yunani itu menjadi pencinta dia mengikuti jejak
kekasihnya, mencari Syekh San`an di Mekkah dan memeluk agama Islam di sana.
Kembalinya Syekh San`an ke agama Islam ialah berkat doa para pengikutnya yang
tak kenal lelah memohon kepada Tuhan agar guru mereka diberi petunjuk.
Tampaknya usaha itu tidak membuahkan hasil, bahkan Syekh San`an semakin larut
dalam agama yang baru dipeluknya. Namun sekali lagi Tuhan turun tangan. Syekh
San`an bermimpi berjumpa Nabi Muhammad s. a. w. yang menyuruhnya datang ke
Mekkah. Setibanya di Mekkah Syekh San`an dan ratusan pengikutnya disambut oleh
ratusan orang Islam termasuk sahabat-sahabat dekatnya. Di hadapan Ka`bah Syekh
pun bertobat dan berikrar untuk kembali ke jalan benar. Putri Yunani yang
ditinggalkan menjadi sangat rindu, dan kemudian menyusul ke Mekkah, di mana dia
memeluk agama Islam dengan disaksikan Syekh San`an dan para pengikutnya.
Kisah di atas juga memberi tahu kita
bahwa di lembah Cinta begitu banyak cobaan dan ujian, yang dapat menyesatkan
seorang penuntut tasawuf. Hanya petunjuk Tuhan yang dapat menyelamatkan
seseorang yang berada dalam bahaya, dan petunjuk itu datang sesuai dengan
ikhtiar dan doa yang dipanjatnya sendiri di masa lalu dan doa yang dipanjatkan
orang-orang terdekat. Di lain hal kisah ini memberi isyarat bahwa cinta sejati
dapat mengatasi perbedaan keyakinan, sebab cinta mengutamakan yang hakiki dan
persatuan dengan jiwa kekasih, bukan untuk memperdebatkan perbedaan-perbedaan
lahir. Hikmah lain dari kisah ini bahwa cinta sejati dapat mendorong orang
melakukan perubahan atau transformasi diri sebagaimana terlihat pada Syekh
San`an atau pun gadis Yunani.
Walaupun cinta yang dialami Syekh San`an
dengan gadis Nasrani itu merupakan cinta profan, namun dari pengalaman tersebut
Syekh San`an memperoleh pelajaran tentang sifat-sifat cinta yang lebih tinggi.
Seperti dituturkan Syekh San`an ketika gadis Nasrani itu menyambut cintanya:
Malam-malam pengasingan yang sunyi
telah berlalu
Namun tak seorang dapat menyingkap
rahasia seperti itu
Siapa pun yang permohonannya
dikabulkan seperti aku malam ini
Siang dan malam-malamnya akan
dilalui dengan kebenaran cinta berahi
Pada siang hari nasibnya dicetak, malam
hari bentuknya disiapkan
Ya Tuhan, tanda-tanda menakjubkan
apa yang kusaksikan malam ini?
Apakah ini tanda Hari Kiamat? Akal,
kesabaran, kawan sejati – semua pergi
Cinta macam apa ini, derita macam
apa dan kepiluan macam apa?
Ketiga, ialah lembah kearifan atau
makrifat. Kearifan berbeda dengan pengetahuan biasa. Pengetahuan biasa bersifat
sementara, kearifan ialah pengetahuan yang abadi, sebab isinya ialah tentang
Yang Abadi. Kearifan merupakan laba yang diperoleh seseorang setelah memperoleh
penglihatan batin terang, di mana ia mengenal dengan pasti hakekat tunggal
segala sesuatu. Kearifan menyebabkan seseorang selalu terjaga kesadarannya akan
Yang Satu, dan waspada terhadap kelemahan, kekurangan dan keabaian dirinya
disebabkan godaan dan tipu muslihat ‘yang banyak’.
Makrifat dapat dicapai dengan
berbagai cara. Di antaranya melalui sembahyang yang khusyuk, latihan kerohanian
yang berdisiplin, penyucian diri sepenuhnya di hadapan Kekasih, dan pengisian
jiwa dengan pengetahuan yang bermanfaat bagi pertumbuhan rohani. Seseorang yang
mencapai makrifat akan menerima nur (cahaya) sesuai amal usahanya dan mendapat
peringkat kerohanian yang ditetapkan baginya dalam mengenal kebenaran ilahi.
Orang yang mengenal hakekat segala sesuatu akan memandang, dan bersikap
terhadap dunia melalui penglihatan hatinya yang telah tercerahkan. Ia tidak
lagi terpaku pada segala sesuatu yang bersifat embel-embel, sebab yang menjadi
perhatiannya ialah yang hakiki. Ia tidak sibuk memikirkan dirinya dan hasratnya
yang rendah, namun senantiasa asyik memandang wajah Sahabat atau Kekasihnya,
yang Maha Pengasih dan Penyayang itu (al-rahman al-rahim). Kearifan menjadi
rusak disebabkan dangkalnya pikiran, kesedihan yang berlarut-larut dan kebutaan
pandangan terhadap hakekat ketuhahan. Mata orang arif terbuka kepada Yang Satu,
bagaikan bunga tulip yang kelopaknya selalu terbuka kepada cahaya matahari.
Keempat. Lembah kebebasan atau
kepuasan (istighna). Di lembah ini tidak ada lagi nafsu memenuhi jiwa seseorang
atau keinginan mencari sesuatu yang mudah didapat dengan ikhtiar biasa. Karena
pandangan telah tercerahkan oleh kehadiran Yang Abadi, maka seseorang tidak
pernah melihat ada yang baru atau ada yang lama di dunia ini. Lautan tampak
sebagai setitik air di tengah wujud-Nya yang tak terhingga luasnya, dan dadanya
selalu lapang sebab dia mengetahui bahwa rahmat Tuhan tidak akan pernah
menyusut atau berkembang. Tujuan hidup tak berguna ditanggalkan dan seseorang
merasa cukup dengan rahmat yang dilimpahkan Tuhan. Di dunia dia hanya tinggal
bekerja, berikhtiar dan berusaha sesuai kemampuan dan pengetahuannya tentang
sesuatu, dan untung rugi dia pasrahkan kepada Kekasihnya. Untuk mencapai
tingkat ini, kata `Attar, seseorang harus melakukan kewajiban yang dipikulkan
kepadanya tanpa beban. Seseorang mesti meninggalkan sikap acuh tak acuh, masa
bodoh dan ketakpedulian terhadap masalah keagamaan, kemanusiaan dan sosial.
Lamunan kosong dan ketakpastian terhadap sesuatu yang tak memerlukan lamunan
dan keraguan harus diganti dengan keteguhan iman atau haqq al-yaqin. Kata
Hamzah Fansuri:
`Ilmu`l-yaqin nama ilmunya
Ayn`l-yaqin hasil tahunya
Haqq`l-yaqin akan katanya
Muhammad Nabi asal gurunya
Syariat akan ripainya
Tariqat akan bidainya
Haqiqat akan tirainya
Makrifat yang wasil akan isainya
Dengan demikian makrifat merupakan
bentuk pengetahuan tertinggi tentang hakekat. Keadaan yang rohani lahir
daripadanya ialah kedekatan (wasil) dengan Yang Satu. Rasa dekat ini dapat
timbul karena dia menyaksikan dengan mata batinnya bahwa Kekasih hanya Satu, tidak
dua. Istilah lain yang digunakan para sufi tentang keadaan ini ialah
musyahadah, artinya penyaksian bahwa Tuhan itu satu. Musyahadah menjamin
stabilitas jiwa dan pikiran seseorang, sebab benar-benar telah terpaut pada
tali Yang Satu. Istilah lain yang digunakan para sufi untuk keadaan ini ialah
haqq al-yaqin, yakni yakin secara mendalam bahwa kebenaran hakiki ialah Dia.
Keyakinan seperti itu sudah barang tentu mendatangkan kepuasan rohani dan
kebebasan daripada yang selain Dia. Jadi batas antara lembah makrifat dan
lembah isytighna tidak begitu jelas.
Menurut `Attar di lembah keempat ini
seseorang mesti menyibukkan diri dengan hal-hal yang bersifat hakiki dan utama,
mengabaikan hal-hal yang bersifat lahiriah atau yang semata-mata menyangkut
kepentingan diri sendiri. Seseorang mesti memperbanyak kerja kerohanian,
misalnya dengan ibadah, berderma. memperbanyak amal saleh, membangun pesantren,
menyebarkan kegiatan keagamaan dan sebagainya. Kata `Attar, “Di lembah ini
seseorang mungkin melakukan suatu kegiatan yang bermakna, tetapi ia tidak
menyadari.” Kalaupun menyadari ia tidak perlu menyombongkan diri. Lanjut
`Attar, “Lupakan segala yang telah kau perbuat, berikhtiarlah untuk bebas dan
cukupkan dengan dirimu sendiri, meskipun kau kadang mesti menangis dan
bergembira terhadap hasil-hasilnya. Di lembah keempat ini cahaya kilat
kesanggupan, yang merupakan penemuan sumber-sumber dirimu sendiri, kecukupan
dirimu, menyala begitu terang dan membara hingga membakar penglihatanmu pada
dunia.”
Kelima, lembah Tauhid. Di lembah ini
semuanya pecah berkeping-keping, kemudian menyatu kembali. Semua yang tampak
berlainan dan berbeda kelihatan berasal dari hakekat yang sama. Jadi di lembah
ini seseorang menyadari bahwa hakekat wujud yang banyak itu sebenarnya satu,
maksudnya manifestasi Cinta Yang Satu, yaitu rahman dan rahim-Nya.
Keenam, lembah Hayrat atau
ketakjuban. Di sini kita menjadi mangsa ketakjuban yang menyilaukan mata,
sehingga seolah-olah kita tenggelam dalam kebingungan dan timbul rasa duka yang
tak terkira. Betapa tidak. Siang berubah jadi malam, malam berubah siang.
Kemalangan tampak sebagai keberuntungan dan keberuntungan kelihatan sebagai
kemalangan. Untung rugi tak jelas batasnya. Orang yang mencapai lembah Tauhid
pada mulanya akan lupa atas segalanya, kemudian sadar bahwa bersama dirinya
ialah Yang Satu. Tetapi dia tidak tahu siapa yang bersama dengan dirinya. Jika
orang berada di lembah ini ditanya, dia akan menjawab: “ Aku tak tahu apa ini
fana’ (lenyap) atau baqa’ (hidup kekal) dalam Dia. Aku tak tahu apa ini nyata
atau tak nyata. Aku sedang bercinta, tetapi tidak tahu dengan siapa bercinta.”
`Attar memberi contoh “Kisah Seorang Putri Raja Yang Mencintai Hambanya”. Hamba
di sini melambangkan seorang salik yang tak memikirkan apa-apa lagi, yang
penting mengabdi, dan karena hanyutnya dalam pengabdiannya maka dia memancarkan
keindahan luar biasa. Putri raja diam-diam jatuh cinta kepadanya, dan dengan
dibius oleh dayang-dayangnya maka hamba itu pun dibawa ke peraduan sang putri,
diberi minuman dan makanan lezat, dihidangi tari-tarian dan musik yang indah,
sebelum keduanya beradu. Hamba tersebut mengalami semua itu antara sadar dan
tak sadar.
Ketujuh. Lembah Faqir dan Fana Faqir
artinya tidak memiliki apa-apa lagi, semuanya sudah terampas dari dirinya, kecuali
Cintanya kepada Yang Satu. Karena jiwanya hanya terisi oleh-Nya maka dia
sanggup mengurbankan diri asal saja diperinsahkan oleh Kekasihnya.. Kefakiran
menerbitkan keberanian menentang yang selain Dia, sebagaimana dimanifestasikan
dalam semangat jihad.. Kefakiran juga dijadikan landasan ethos dagang yang
melahirkan prinsip futuwwa (semangat satria pinandita). Dengan ethos demikian
organisasi-organisasi dagang Islam (ta`ifa) tumbuh pada abad ke-13 sebagai
organisasi sosial keagamaan yang dipimpin oleh ulama sufi. Ta`ifa aktif
menyebarkan agama Islam dengan didukung aktivitas perdagangan, pembinaan
kota-kota urban di pesisir dan pengembangan industri, dari mana terbentuk
pusat-pusat penyebaran agama Islam di Nusantara. Pada masa-masa genting
anggota-anggota ta`ifa, termasuk para pengrajin, santri, dan lain-lain, ikut
berjuang melawan musuh yang memerangi kaum Muslimin, termasuk kaum penjajah.
Fana’ ialah persatuan mistik,
manunggaling kawula Gusti atau Unio-mystica. Keadaan ini disusul dengan baqa’,
yaitu pengalaman hidup kekal dalam Tuhan. Apabila seseorang telah mencapai
tahapan ini, dia akan mengenal dirinya yang hakiki, dirinya yang universal, dan
dengan demikian mengenal sungguh-sungguh asal kerohaniannya. Hadis yang
mengatakan, “Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya”
dapat dijelaskan melalui uraian di atas. Di sini seseorang mengenal bahwa
dirinya benar-benar makhluk rohani, bukan sekedar mahluk jasmani dan nafsani.
Dia menyadari bahwa secara esensial manusia memang makhluk kerohanian, sebagaimana
dinyatakan al-Qur’an dengan istilah khalifah Tuhan di muka bumi, dan sekaligus
hamba-Nya. Sebagai khalifah Tuhan menjadi perantara antara alam rendah dan alam
tinggi.
Dengan indahnya `Attar menuturkan
dalam kitabnya yang masyhur itu:
Melalui kesukaran dan kehinaan
jiwanya burung-burung itu pun susut
Lantas hapus (fana’), sedangkan
tubuh mereka menjelma debu
Setelah dimurnikan maka mereka pun
menerima hidup baru
Dari limpahan Cahaya Tuhan di
hadirat-Nya
Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba-Nya
dengan jiwa segar
Sekali lagi di jalan lain mereka
binasa dalam ketakjuban
Perbuatan dan diam mereka di masa
lalu telah dienyahkan
Dan disingkirkan dari lubuk hati
serta dada mereka
Matahari Kehampiran bersinar terang
dari diri mereka
Jiwa mereka diterangi semua oleh
cahaya
Dalam pantulan wajah tiga puluh
(si-murgh)
Mereka lantas menyaksikan wajah
Simurgh yang sebenarnya
Apabila mereka memandang, yang
tampak hanya Simurgh:
Tak diragukan Simurgh ialah tiga
puluh ekor burung
Semua bingung penuh keheranan, tak
tahu apa mereka ini atau itu.
Mereka memandang diri mereka tak
lain adalah Simurgh.
Pada bagian lain `Attar menyatakan:
Bebaskan dirimu dari segaa yang
kaumiliki
Campakkan semua dari sisimu satu
demi satu
Lantas asingkan dirimu secara rohani
dari dunia
Apabila batinmu telah menyatu dengan
kefakiran
Kau akan bebas dari kebaikan dan
keburukan
Dan jika kebaikan dan keburukan
telah kaulalui
Kau akan menjadi seorang pencinta
`Attar mengakhiri kisah burung
menemui raja mereka Simurgh, yang tak lain ialah gambaran diri mereka yang
sejati, sebagai berikut: “Tahukah kau apa yang kaumiliki? Masuklah ke dalam
dirimu sendiri dan renungkan ini. Selama kau tak menyadari kehampaan dirimu,
dan selama kau tak meninggalkan kebanggan diri yang palsu, serta kesombongan
dan cinta diri yang berlebihan, kau tidak akan mencapai puncak keabadian. Di
jalan tasawuf kau muka-muka akan dicampakkan ke dalam lembah kehinaan, kemudian
baru kau akan diangkatnya ke puncak gunung kemuliaan”.
Mengenai pengetahuan tentang diri
itu Imam al-Ghazali mengatakan dalam kitabnya Kimiya-i Sa`adah (Kimia
Kebahagiaan), “Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya berada dalam
pengetahuan tentang hal-hal berikut: Siapakah anda, darimana anda datang?
Kemana anda akan pergi, dan apa tujuan anda datang serta tinggal sejenak di
sini, dan di manakah letak kebahagiaan anda?... Suatu bagian penting dari
pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari kajian dan renungan atas jasad kita
sendiri yang menampakkan kepada kita kebijaksanaan, kekuasaan serta cinta Sang
Pencipta. Manusia dengan tepatnya disebut `alam al-saghir (jagad cilik) dalam
dirinya. Susunan kerangka jasadnya mesti dipelajari, bukan saja oleh
orang-orang yang ingin menjadi dokter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin
mencapai pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana kajian yang
mendalam tentang keindahan dan corak bahasa pada sebuah puisi yang agung akan
mengungkapkan kepada kita lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya...
Tetapi di atas segalanya pengetahuan tentang jiwa dan kerohanian manusia lebih
penting sebab pengetahuan semacam itulah yang dapat membawa kita sampai kepada
pengetahuan tentang Tuhan.”
Referensi:
Uraian tentang cinta dalam karangan
ini merupakan ringkasan dari Bab II tesis penulis Estetika Sastra Sufistik:
Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Shaykh Hamzah Fansuri. Universiti Sains
Malaysia, P. Pinang, 1996. Tentang buku `Attar dapat dibaca terjemahan dalam
bahasa Indonesia oleh Hartojo Andangjaya, Musyawarah Burung. Jakarta:Pustaka
Jaya, 1982. Sajak-sajak Rumi diambil dari buku karangan penulis sendiri, Rumi,
Sufi dan Penyair. Bandung: Pustaka, 1985.
Sajak `Attar dalam tulisan ini
diterjemahkan dari edisi Edward Fitzgerald The Conference of the Birds. Penguin
Book: 1972 (reprint).
Tasawuf ialah bentuk kebajikan
spiritual dalam Islam yang dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan
dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan syariat Islam. Jalan-jalan
kerohanian dalam ilmu tasawuf dikembangkan dengan tujuan membawa seorang sufi
menuju pencerahan batin atau persatuan rahasia dengan Yang Satu. Di sini jelas
bahwa landasan tasawuf ialah tauhid. Menurut keyakinan para sufi, apabila kalbu
seseorang telah tercerahkan dan penglihatan batinnya terang terhadap yang
hakiki, maka ia berpeluang mendapat persatuan rahasia (fana’) dengan Yang
Hakiki. Apabila demikian maka dia akan dapat merasakan pengalaman paling indah,
yaitu hidupnya kembali jiwa dalam suasana baqa` (kekal). Ia lantas tahu
cara-cara membebaskan diri dari kesementaraan alam zawahir (fenomenal) yang
melingkungi hidupnya, serta merasakan kedamaian yang langgeng sifatnya.
Ikhtiar untuk mencapai keadaan rohani
(ahwal, kata jamak dari hal) semacam itu dimulai dengan mujahadah, yaitu
perjuangan batin melawan kecenderungan nafsu rendah yang dapat membawa kepada
pengingkaran terhadap Yang Haqq. Ujung perjalanan melalui mujahadah disebut
musyahadah, yaitu penyaksian secara batin bahwa Tuhan benar-benar satu, tiada
kesyakan lagi terhadap-Nya. Jadi yang terbit dari keadaan musyahadah ialah haqq
al-yaqin. Jiwa yang menerima keadaan rohani semacam itu disebut faqir,
yaitu kesadaran tidak memiliki apa pun selain cinta kepada-Nya dan karenanya
bebas dari kungkungan selain Dia.
Ini tidak berarti seorang faqir
tidak mempunyai perhatian kepada yang selain Dia, yakni alam sekitarnya, dunia
dan sesamanya, tetapi semua itu dilihat dengan mata hati yang terpaut kepada
Dia semata. Dengan demikian seseorang tidak hanya terkungkung oleh
bentuk-bentuk dan penampakan zahir kehidupan, tanpa melihat hakekat dan hikmah
yang dikandung dalam semua peristiwa dan kejadian.
Dalam Mantiq al-Tayr karangan
Fariduddin `Attar digambarkan secara simbolik bahwa jalan kerohanian
dalam ilmu Tasawuf ditempuh melalui tujuh lembah (wadi), yaitu: lembah pencarian
(talab), cinta (`isyq), makrifat (ma`rifah),
kepuasan hati (istighna), keesaan (tawhid), ketakjuban
(hayrat), kefakiran (faqr) dan hapus (fana`).
Namun `Attar menganggap bahwa secara keseluruhan jalan tasawuf itu sebenarnya
merupakan jalan cinta, dan keadaan-keadaan rohani yang jumlahnya tujuh itu
tidak lain adalah keadaan-keadaan yang bertalian dengan cinta. Misalnya ketika
seseorang memasuki lembah pencarian. Cintalah sebenarnya yang mendorong
seseorang melakukan pencarian. Adapun kepuasan hati, perasaan atau keyakinan
akan keesaan Tuhan, serta ketakjuban dan persatuan mistik merupakan tahapan keadaan
berikutnya yang dicapai dalam jalan cinta.
Banyak orang berpendapat bahwa para
sufi mengingkari pentingnya akal dan pikiran dalam menjawab soal-soal
kehidupan. Pernyataan ini tidak benar sama sekali. Syah Nikmatullah Wali
dalam menerangkan bahwa akal dan cinta merupakan dua sayap dari burung yang
sama, yaitu jiwa. Katanya:
Akal dipakai untuk memahami
Keadaan manusia selaku hamba-Nya
Cinta untuk mencapai kesaksian
Bahwa Tuhan itu Satu
Pengakuan akan keesaan hanya
diperuntukkan bagi Allah s. w. t. Sedangkan makrifat diperuntukkan orang yang
telah mencapai hakekat. Cinta adalah penghubung atau pengikat antara kita
dengan-Nya. Jadi cinta ialah pengikat, penghubung, laluan, tangga naik menuju
Tauhid. Di mana saja Cinta menjelaskan bahwa tujuan hanya satu, yaitu
kemutlakan dan kebenaran Yang Haqq. Cinta di sini dapat dipandang sebagai
metode.
Sebagai bentuk spiritualitas Islam,
Tasawuf pada mulanya muncul sebagai gerakan zuhud, yaitu sikap mengingkari
gejala kemewahan dan materialisme yang berlebihan dengan memperbanyak ibadah.
Gejala materialisme dan kecendrungan akan kemewahan melanda masyarakat kelas
atas dan menengah Muslim pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Sebagai gerakan
zuhud Tasawuf menekankan kepada sikap tawadduk dan tawakkal. Pada akhir abad
ke-8 M gerakan ini mengubah diri menjadi Jalan Cinta, yang dipelopori oleh
Rabi`ah al-Adawiyah, Dhun Nun al-Misri, Harits al-Muhasibi dan lain-lain.
Istilah yang digunakan untuk cinta ialah mahabbah dan penggunaan istilah ini
didasarkan pada ayat al-Qur`an 5:57, “yuhibbukum wa yuhibunakum” (Dia
mencintai mereka dan/sebagaimana mereka mencintai-Nya).
Pada akhir abad ke-9 dan 10 M,
dengan munculnya tokoh terkemuka seperti Hasan al-Nuri, Bayazid
al-Bisthami dan Mansur al-Hallaj, untuk cinta dipergunakan istilah
yang lebih dalam pengertiannya, yaitu `isyq, yang berarti cinta berahi.
Kata-kata ini diambil dari Hadis “`asyiqani wa asyiqtuhu” yang menurut Ibn
Sina menjelaskan bahwa puncak dari cinta sejati ialah persatuan mistikal
(rahasia) dengan Dia yang dicintai.
Bersamaan dengan itu, terutama
dengan munculnya al-Hallaj. semakin disadari bahwa pengalaman cinta ternyata
tidak hanya merupakan keadaan jiwa atau rohani yang diliputi oleh sejenis
perasaan, seperti kegairahan dan kemabukan mistikal (wajd dan sukr). Dalam
pengalaman cinta yang bersifat transendental seseorang juga belajar mengenal
dan mengetahui lebih mendalam yang dicintai, dan dengan demikian cinta juga
mengandung unsur kognitif. Bentuk pengetahuan yang dihasilkan oleh cinta ialah
makrifat dan kasyf, tersingkapnya penglihatan batin. Di sini seorang ahli
Tasawuf telah mencapai hakekat dan melihat bahwa hakekat yang tersembunyi di
dalam segala sesuatu sebenarnya satu, yaitu wujud dari Pengetahuan, Keindahan
dan Cinta-Nya.
Walaupun istilah `isyq tidak
terdapat dalam al-Qur`an, namun para sufi memandang perkataan itu tidak
bertentangan artinya dengan mahabbah. Menurut Rumi, `isyq ialah mahabbah
dalam peringkat yang lebih tinggi dan membakar kerinduan seseorang sehingga
bersedia menempuh perjalanan jauh menemui Kekasihnya. Dalam bahasa Melayu
istilah `isyq untuk pertama kalinya digunakan oleh Hamzah Fansuri dalam
sajak-sajak sufistik dan risalah tasawufnya Syarab al-`Asyiqin. (Minuman Orang
Berahi). Minuman orang berahi itu ialah anggur atau serbat Tauhid, dan pembawa
piala anggurnya ialah Dia.
Banyak ayat al-Qur`an yang
menekankan keutamaan cinta. Misalnya QS. 19:97 di mana Allah berfirman
bahwa Dia akan mengaruniakan cinta kepada orang beriman yang berbuat
kebajikan. Selain mengandung dimensi religius, ayat ini mengandung dimensi
moral/sosial.
Sebelum menguraikan penjelasan
`Attar dalam Mantiq al-Tayr, sebuah alegori sufi yang masyhur, saya akan
mengantarkannya dengan membahas pengertian cinta yang diterima secara umum di
kalangan ahli tasawuf. Ada dua katagori cinta yang dibahas para sufi, khususnya
oleh kalangan wujudiyah, yaitu: (1) Cinta Ilahi itu sendiri, dan (2) Cinta
mistikal atau kesufian. Cinta mistikal mengandung jalan menuju persatuan
mistikal dan makrifat, dan ia merupakan bentuk pengalaman religius yang tinggi
dengan beberapa keadaan rohani yang menyertainya.
Cinta ilahi yang dimaksud para sufi
ialah Wujud-Nya ketika turun dari alam Dzat-Nya yang tak dikenal, yaitu alam
hahut, menuju alam ketuhanan (alam lahut) di mana Dia mulai memunculkan Diri
sebagai Khaliq atau Pencipta, dan selanjutnya dikenal sebagai Rabb al-`Alamin,
Penguasa sekalian alam. Para sufi merujukkan konsep mereka tentang Tuhan
sebagai wujud tunggal, yaitu Sifat-sifat-Nya dan Pengetahuan-Nya yang meliputi
alam semesta, kepada beberapa ayat al-Qur`an dan Hadits qudsi.
Hadis qudsi yang dijadikan rujukan
ialah, “Kuntu kanzan makhfiyyan ahbabtu an u`rafa...” (Aku ialah
Harta Tersembunyi, Aku cinta supaya dikenal...). Para sufi memandang Harta
Tersembunyi (kanz makhfiyy) sebagai lautan ilmu-Nya yang tak terhingga luasnya.
Di sini dikatakan Tuhan mencipta alam semesta dan makhluq-makhluq yang lain
didorong oleh cinta-Nya kepada pengetahuan-Nya yang tersembunyi dan bentuk
cinta yang mendorong itu berupa kehendak agar ilmu-Nya dikenal. Dengan demikian
Cinta merupakan prinsip penciptaan dan sekaligus penampakan Wujud Tuhan yang
asali. yang termanifestasikan dalam rahmat-Nya. Rahmat Tuhan terdiri dari dua,
rahmah dzatiyyah atau essensial, yaitu rahman, dan rahmah wujub atau wajib,
disebut rahim. Jadi cinta ilahi yang dimaksud para sufi termaktub dalam kalimah
Basmallah.
Cinta Tuhan yang pertama disebut
rahmat esensial oleh sebab dilimpahkan kepada semua makhluq-Nya dan seluruh
umat manusia tanpa mengenal ras, bangsa, kaum dan agama. Sedang rahmat wajib,
yaitu kasih atau rahim-Nya, hanya dilimpahkan pada orang-orang tertentu yang
dipilih-Nya, yaitu mereka yang tawakkal, beriman dan berbuat kebajikan di muka
bumi
Ayat al-Qur`an yang melukiskan
tentang penciptaan awal, yaitu “Kun fayakun!” (Jadilah! Maka menjadi!)
dijelaskan melalui Hadis di atas. Kehendak Tuhan untuk menjadikan atau
menciptakan alam semesta dengan segala isinya didorong oleh cinta kepada kanz
makhfiyy-Nya, yaitu hikmah atau ilmu-Nya yang tak terhingga dan belum dikenal.
Karena itu dalam metafisika sufi Tuhan sebagai Khaliq disebut juga Wujud, Ilmu
(dan karena mempunyai `Ilmu maka Dia Maha Mengetahui atau `Alim). Sebutan lain
ialah Syuhud (Kesaksian) dan karena mempunyai kesaksian terhadap Wujud dan
Ilmu-Nya, maka Dia Maha Melihat. Dengan Ilmu-Nya penciptaan muncul dari alam
ketiadaan dan kegelapan, dan diterangi. Karena itu Tuhan disebut sebagai Cahaya
(Nur) di atas cahaya, sebagaimana disebut dalam Surah al-Nur.
Dengan demikian Cinta ilahi ialah
wujud-Nya, dan Wujud-Nya ialah Sifat-sifat-Nya yang diringkas dalam al-rahman
dan al-rahim, juga Pengetahuan-Nya dan Nur-Nya, yang meliputi alam semesta.
Cinta ilahi juga merupakan rahasia penciptaan (sirr al-khalq) atau sebab
penciptaan (illah al-khalq). Ayat lain yang dijadikan rujukan ialah al-Qur`an
65:12, yang maksudnya, “Allah lah yang mencipta tujuh langit dan bumi.
Perintah Allah berlaku kepada mereka agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar
meliputi segala sesuatu.”
Mengenai cinta pada manusia ada dua
macam, yaitu cinta mistikal/rohani dan cinta alami/kodrati. Cinta mistikal
tertuju kepada Tuhan, cinta kodrati tertuju kepada sesama manusia dan
lingkungan sekitar. Cinta jenis kedua ini dapat dijadikan tangga naik menuju
cinta mistikal, dan sebaliknya cinta mistikal dapat mengubah bentuk-bentuk
cinta yang kedua menjadi lebih tinggi. Pelaksanaan cinta kedua ini dirumuskan
oleh al-Qur`an dengan istilah amar makruf nahi mungkar atau solidaritas sosial
yang bertujuan membentuk lingkungan masyarakat yang diridhai Tuhan,
berkeadilan, beradab dan berperikemanusiaan.
Cinta mistikal merupakan
kecendrungan yang tumbuh dalam jiwa manusia terhadap sesuatu yang lebih tinggi
dan lebih sempurna dari dirinya, baik keindahan, kebenaran maupun kebaikan yang
dikandungnya. Ada beberapa ayat al-Qur`an yang dijadikan rujukan terhadap cinta
semacam ini. Pertama ayat yang mengemukakan tentang wajibnya manusia mencintai
Tuhan supaya manusia mengenal kedudukannya sebagai khalifah-Nya di muka bumi
dan sekaligus sebagai hamba-Nya, atau supaya manusia mengenal dirinya yang
hakiki sebagai mahluk spiritual dan asal-usul kerohaniannya, serta
kewajiban-kewajibannya dalam memenuhi cintanya tersebut. Memenuhi kewajibannya
dalam cinta berarti melakukan perjalanan naik atau transendensi, menembus yang
formal menuju yang hakiki.
Para sufi menyebut perjalanan
mendaki dari bentuk formal atau syariat kepada yang hakiki atau makrifat sebagai
taraqqi. Istilah ini ada kaitannya dengan sebutan tariqat. Perjalanan mendaki
tersebut oleh Rumi disebut sebagai ‘perjalanan dari diri ke diri’, yakni dari
diri dalam kedudukan rendah menuju diri dalam kedudukan mulia/tinggi. Dalam
sastra fusi perjalanan tersebut sering digambarkan secara simbolik sebagai
penerbangan burung (jiwa) ke puncak gunung, atau perjalanan ke puncak bukit
yang tinggi seperti dialami Nabi Musa a. s. di Thursina, atau penyelaman ke
lubuk lautan (wujud) untuk mencari air hayat (makrifat) sebagaimana dilakukan
Iskandar Zulkarnaen atau Bima dalam cerita Dewa Ruci, atau pelayaran kapal
menuju bandar Tauhid. Perjalanan ke puncak bukit tertinggi kadang-kadang
dilukiskan sebagai perjalanan mencari Kekasih, sebagaimana tampak dalam syair-syair
Hamzah Fansuri.
Ayat al-Qur’an yang dirujuk dalam
melukiskan perlunya jalan cinta dalam tasawuf antara lain ialah, “Aku
mencipta jin dan manusia tiada lain supaya mereka mengabdi/beribadah kepada-Ku”
(QS. 51:56) Di dalam ayat ini tersirat pengertian bahwa dalam jalan
cinta terdapat pengabdian kepada Yang Dicintai. Selain itu para sufi juga
menghubungkan pencapaian di jalan cinta dan peroleh pengetahuan yang mendalam
tentang Yang Hakiki. Ibnu Abbas misalnya menafsir perkataan “supaya beribadah
kepada-Ku” dalam ayat di atas sebagai “supaya mencapai pengetahuan-Ku (melalui
jalan cinta)”
Jenis cinta mistikal yang lain ialah
berupa cinta yang terbit dari kerinduan manusia kampung halamannya yang sejati
yang didiaminya pada Hari Alastu dulu, yakni sebelum dia diturunkan ke dunia
dan masih berupa roh yang bersujud di hadapan Tuhan. Pada hari itu manusia
masih dekat dan bersatu dengan Tuhannya, dan berikrar tidak mengakui Rabb yang
lain kecuali Kekasihnya Yang Haqq, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur`an 7:
“Alastu bi rabbikum? Qawlu bala syahidna!” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?
Ya, aku bersaksi!”) Perkataan Alastu diambil dari perkataan pertama dalam
kalimah pengakuan tersebut. Ia disebut juga sebagai Hari Mitaq atau Hari
Perjanjian, dan merupakan pengalaman asali manusia paling indah karena masih
bersatu dengan-Nya, belum terbuang dan berpisah dari-Nya.
Sesudah manusia diturunkan ke dunia,
rohnya disatukan dengan tubuhnya, gema suara yang didengarnya di Hari Alastu
itu terekam di lubuk kesadaran atau kalbu manusia. Gema itu dapat didengar
kembali pada saat manusia mengalami krisis batin yang hebat, yang menyebabkan
kerinduannya kepada Yang Satu timbul kembali. Di antara krisis batin hebat itu
ialah apabila manusia menyadari bahwa ia sebatang kara di dunia, merasa sunyi
sebagai anak dagang yang berada di perantauan yang jauh, merasa terbuang dan
terasing. Kerinduan manusia kepada kampung halamannya di Hari Alastu itu,
menurut Rumi, dapat melahirkan seni musik dan puisi bermutu tinggi. Kerinduan
mempunyai wajah ganda, riang dan sedih, atau campuran antara keduanya, dan ini
merupakan asas semua seni. Seni yang lahir dari keadaan rohani semacam itu
dapat dijadikan sarana transendensi. Hal ini digambarkan oleh Rumi dalam
mukadimah karya agungnya Mathnawi. Rumi mengibaratkan kerinduan manusia pada
pengalaman mistikal primordial di Hari Alastu sebagai kerinduan seruling untuk
bersatu kembali dengan rumpun bambu, yang merupakan asal usulnya, dan
kerinduannya itulah yang merupakan sumber suaranya yang merdu:
Dengar lagu sendu seruling bambu
menyampaikan kisah pilu perpisahan
Tuturnya, “Sejak daku tercerai dari
indukku
rumpun bambu naung dan rimbun
Ratapku membuat lelaki dan wanita
mengaduh --
Kuingin sebuah dada koyak disebabkan
rindu
Agar dapat kupaparkan kepiluan berahi
cinta
Setiap orang yang berada jauh dari
kampung halamannya
Akan rindu untuk merasakan kembali
Saat-saat ketika dia masih bersatu
dengan-Nya
Dalam setiap pertemuan kunyanyikan
nada-nada senduku
Bersama yang riang dan sedih aku
berkumpul
Rahasia laguku tak jauh dari ratapku
Namun tiada telinga mendengar dan
mata melihat
Tubuh tidak terdinding dari roh, pun
roh
Namun tak seorang diperkenankan
melihat roh.”
Riuhnya suara seruling adalah
kobaran api
Bukan suara hembusan angin
Cinta semacam itu menurut Imam
al-Ghazali timbul karena adanya munasabah, yaitu daya saling tarik antara
seseorang yang mencintai dan dia yang dicintai. Sadrudin al-Qunyawi,
yang hidup sezaman dengan Rumi di kota yang sama, Konya Turki, menjelaskan
bahwa munasabah membawa seseorang berjalan jauh tanpa memperhatikan bahaya dan
rintangan menuju tempat yang dicintai, dengan maksud mencapai persatuan rahasia
(mistikal). Cinta manusia kepada Tuhan tumbuh dari kesadaran bahwa manusia
tidak sempurna dan berhasrat mengurangi ketaksempurnaan, dan kesempurnaan hanya
milik Tuhan. Tuhan mencintai manusia karena manusia merupakan ciptaan-Nya yang
paling sempurna dan indah, dan apabila manusia menyempurnakan potensi
kerohanian dan moral yang ada dalam dirinya, maka ia menjadi alamat daripada
tanda-tanda keindahan-Nya. Karena Tuhan Maha Indah dan mencintai keindahan (Inna
Allah al-jamil wa yuhibbu al-jamal), maka manusia yang mencapai keadaan
semacam itu dikatakan akan dilimpahi cinta.
Munasabah berakar dalam wujud asali
ketuhanan, yaitu cintanya agar Harta Tersembunyi-Nya dikenal, dan juga berakar
dalam pesona Hari Alastu, di mana manusia berikrar hanya akan mentaati dan
mencintai Yang Satu. La ilaha ill Allah.
Sekarang marilah kita bahas jalan
cinta yang dikemukakan `Attar, bersama contoh-contoh keadaan rohani yang
ditimbulkannya, sebagaimana digambarkan dalam Mantiq al-Tayr. Namun sebelum itu
kami hendak memaparkan sedikit riwayat hidup `Attar dan karya-karyanya.
`Attar (1130-1220 M) ialah seorang sufi dan sastrawan Persia terkemuka. Di
Nisyapur, kota kelahirannya, dia juga dikenal sebagai seorang ahli farmasi dan
saudagar minyak wangi yang kaya raya. Perjalanan hidupnya berubah pada suatu
hari ketika di toko minyak wanginya yang besar datang seorang fakir tua renta
yang tak berduit satu sen pun. Melihat fakir yang dikiranya akan mengemis itu
`Attar segera bangkit dari tempat duduknya, menghardik dan mengusirnya agar
pergi meninggalkan tokonya. Dengan tenang fakir itu menjawab, “Jangankan
meninggalkan tokomu, meninggalkan dunia dan kemegahannya ini bagiku tidak
sukar! Tetapi bagaimana dengan kau? Dapatkah kau meninggalkan kekayaanmu,
tokomu dan dunia ini?” `Attar tersentak, lalu menjawab spontan, “Bagiku juga
tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini!”
Sebelum `Attar selesai menjawab,
fakir tua renta itu rebah dan meninggal seketika. `Attar terperanjat. Sehari
kemudian, setelah menguburkan fakir itu selayaknya, `Attar menyerahkan
penjagaan toko-tokonya yang banyak di Nisyapur kepada sanak-saudaranya dan dia
sendiri mengembara ke seluruh negeri untuk menemui para guru tasawuf yang
kesohor, tanpa membawa uang satu peser pun. Beberapa tahun kemudian, dalam usia
35 tahun, dia kembali ke tanah kelahirannya sebagai guru kerohanian yang
masyhur. Dia melanjutkan lagi profesinya sebagai ahli farmasi dan saudagar
minyak wangi, di samping memberikan latihan-latihan kerohanian dan membuka
sejumlah sekolah. Kekayaannya semakin bertambah-tambah, demikian pula
kemasyhurannya sebagai seorang sufi.
Salah satu kepandaian `Attar yang
telah lama dikenal penduduk Nisyapur ialah kemahirannya bercerita. Ia sering
melayani pasien-pasien dan pelanggannya dengan bercerita sehingga memikat
perhatian mereka. Apabila sedang tidak ada pelanggan datang, dia pun menulis
cerita. Di antara karya `Attar yang terkenal ialah Thadkira al-`Awlya (Anekdote
Para Wali), Ilahi-namah (Kitab Ketuhanan), Musibat-namah (Kitab Kemalangan) dan
Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung). Semua karyanya itu ditulis dalam bentuk
prosa-puisi yang indah, kaya dengan hikmah dan kisah-kisah perumpamaan yang
menarik.
Mantiq al-Tayr
menceritakan.penerbangan burung-burung mencari raja diraja mereka Simurgh yang
berada di puncak gunung Qaf yang sangat jauh dari tempat mereka berada.
Perjalanan itu dipimpin oleh Hudhud, burung kesayangan Nabi Sulaiman a.s. yang
melambangkan guru sufi yang telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi.
Sedangkan burung-burung melambangkan jiwa atau roh manusia yang gelisah
disebabkan kerinduannya kepada Hakekat Ketuhanan. Simurgh sendiri merupakan
lambang diri hakiki mereka dan sekaligus lambang hakekat ketuhanan. Perjalanan
itu melalui tujuh lembah, yang merupakan lambang tahap-tahap perjalanan sufi
menuju cinta ilahi. Dalam tiap tahapan (maqam) seorang penempuh jalan akan
mengalami keadaan-keadaan jiwa/rohani (ahwal, kata jamak dari hal). Uraian
keadaan rohani yang disajikan `Attar menarik karena menggunakan kisah-kisah
perumpamaan. Pada akhir cerita `Attar menyatakan bahwa ternyata hanya tiga
puluh ekor burung (si-murgh) yang mencapai tujuan, dan Simurgh tidak lain ialah
hakekat diri mereka sendiri.
Lembah-lembah yang dilalui para
burung itu ialah: Pertama, lembah talab atau pencarian. Di lembah ini banyak
kesukaran, rintangan dan godaan dijumpai oleh seorang salik (penempuh jalan).
Untuk mengatasinya seorang salik harus melakukan berbagai ikhtiar besar dan
harus mengubah diri sepenuhnya, dengan membalikkan nilai-nilai yang dipegangnya
selama ini. Kecintaan pada dunia harus dilepaskan, baru kemudian ia dapat
terselamatkan dari bahaya kehancuran diri dan sebagai labanya dapat menyaksikan
cahaya kudus Keagungan Ilahi. Hasrat-hasrat murni kita dengan demikian juga
akan berlipat ganda. Seseorang yang berhasil mengatasi diri jasmani dan dunia
akan dipenuhi kerinduan kepada yang dicintai dan benar-benar mengabdikan diri
kepada Kekasihnya. Tidak ada masalah lain baginya kecuali mengejar tujuan murni
hidupnya dan dia pun tidak takut kepada naga-naga kehidupan, yaitu hawa
nafsunya. Ia tidak mempermasalahkan lagi keimanan dan kekufuran, sebab dia
telah berada dalam Cinta. Kata `Attar, “Apabila kau gemar memilih di antara
segala sesuatu yang datang dari Tuhan, maka kau bukan penempuh jalan yang baik.
Apabila kau suka memandang dirimu sendiri dimuliakan karena memiliki intan dan
emas segudang, dan merasa dihinakan karena hanya memiliki setumpuk batu, maka
Tuhan tidak akan menyertaimu. Ingatlah, jangan kau sanjung intan dan kau tolak
batu, karena keduanya berasal dari Tuhan. Batu yang dilemparkan oleh kekasih
yang setia lebih baik daripada intan yang dijatuhkan oleh seorang wanita
perusak rumah tangga.”
Di lembah pencarian seseorang harus
memiliki cinta dan harapan. Dengan cinta dan harapan orang dapat bersabar. Kata
`Attar, “Bersabarlah dan berusahalah terus dengan harapan memperoleh petunjuk
jalan (hidayah). Kuasailah dirimu dan jangan biarkan kehidupan lahiriah dan
jasmaniah menawan serta menyesatkanmu!”
Kedua, lembah Cinta (`isyq). `Attar
melambangkan cinta sebagai api yang bernyala terang, sedangkan pikiran sebagai
asap yang mengaburkannya. Tetapi cinta sejati dapat menyingkirkan asap. Di sini
`Attar mengartikan cinta sebagai penglihatan batin yang terang, sehingga tembus
pandang, artinya dapat menembus bentuk-bentuk formal kemudian menyingkap
rahasia-rahasia terdalam dari ciptaan. Orang yang cinta tidak memandang segala
sesuatu dengan mata pikiran biasa, melainkan dengan mata batin. Hanya dia yang
telah teruji dan bebas dari dunia serta kungkungan benda-benda, berpeluang
memiliki penglihatan terang. Caranya ialah dengan penyucian diri, sebagaimana
dikatakan Rumi:
Indra tubuh adalah tangga menuju
dunia
Indra keagamaan tangga menuju langit
Mintalah kesehatan tubuh kepada
dokter
Namun kesehatan jiwa dan rohani
Hanya didapat dari kekasih Allah
Jalan rohani meruntuhkan (hasrat)
tubuh
Sesudah itu rumah yang lebih megah
dibangunnya
Lebih baik merubuhkan rumah demi
harta karun
Dan dengan harta itu membangun rumah
baru
Dibanding mempertahankan rumah usang
Bendunglah air dan bersihkan dasar
sungai
Baru kau alirkan air minum dari
dalamnya
Belahlah kulit dan cabutlah bulunya
Lalu segarkan kulit menutupi luka
Ratakan benteng dengan tanah,
rebutlah ia
Dari tangan orang mungkar dan kafir
Lalu dirikan ratusan menara
Dan tempat berlindung di atasnya
Siapakah orang mungkar dan kafir itu
Dia tak lain ialah hawa nafsumu
sendiri
`Attar sendiri mengatakan, “Dia yang
menempuh jalan tasawuf hendaknya memiliki seribu hati, sehingga setiap saat ia
dapat mengurbankan yang satu tanpa kehilangan yang lain.” Di sini Cinta
dikaitkan dengan pengurbanan. Para sufi merujuk kepada kepatuhan Nabi Ismail
a.s. kepada perintah Tuhan. yang bersedia dijadikan qurban oleh ayahnya Nabi
Ibrahhim. a.s. Peristiwa inilah yang dijadikan landasan upacara Idul Qurban.
Kata-kata qurban berasal dari qurb yang berarti hampir atau dekat. Jadi
berkurban dalam cinta berarti berusaha memperdekat langkah kita untuk mencapai
tujuan, yaitu Cinta Ilahi.
Salah satu ciri cinta sejati dalam
arti penglihatan batin terang dan dengan itu mampu menembus bentuk zahir segala
sesuatu sehingga mencapai hakekatnya yang terdalam. Karena dapat melihat dari
arah hakekat, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari
orang lain tentang dunia dan kehidupan Pencinta sejati bebas dari kungkungan
bentuk-bentuk lahir. `Attar menuturkan kurang lebih sebagai berikut:
Ketahuilah wahai yang tak pernah
diberi tahu!
Di antara pencinta, burung-burung
itu telah bebas
Dari kungkungan sangkarnya sebelum
ajal mereka tiba
Mereka memiliki perkiraan dan
gambaran lain tentang dunia
Mereka memiliki lidah dan tutur yang
berbeda pula
Di hadapan Simurgh mereka luluh dan
bersimpuh
Mereka mendapat obat demi kesembuhan
mereka dari penyakit
Sebab Simurgh mengetahui bahasa
sekalian burung
Ketaatan kepada orang yang dicintai
merupakan tanda seorang pencinta sejati. Namun demikian di jalan Cinta banyak
sekali godaan dijumpai oleh seorang pencinta. Dalam Mantiq al-Tayr `Attar
memberi contoh kisah Syekh San`an dan Gadis Yunani beragama Kristen. Ketika
menjadi pencinta Syekh San`an menuruti perintah kekasihnya, dia memeluk agama
Kristen dan ketika Putri Yunani itu menjadi pencinta dia mengikuti jejak
kekasihnya, mencari Syekh San`an di Mekkah dan memeluk agama Islam di sana.
Kembalinya Syekh San`an ke agama Islam ialah berkat doa para pengikutnya yang
tak kenal lelah memohon kepada Tuhan agar guru mereka diberi petunjuk.
Tampaknya usaha itu tidak membuahkan hasil, bahkan Syekh San`an semakin larut
dalam agama yang baru dipeluknya. Namun sekali lagi Tuhan turun tangan. Syekh
San`an bermimpi berjumpa Nabi Muhammad s. a. w. yang menyuruhnya datang ke
Mekkah. Setibanya di Mekkah Syekh San`an dan ratusan pengikutnya disambut oleh
ratusan orang Islam termasuk sahabat-sahabat dekatnya. Di hadapan Ka`bah Syekh
pun bertobat dan berikrar untuk kembali ke jalan benar. Putri Yunani yang
ditinggalkan menjadi sangat rindu, dan kemudian menyusul ke Mekkah, di mana dia
memeluk agama Islam dengan disaksikan Syekh San`an dan para pengikutnya.
Kisah di atas juga memberi tahu kita
bahwa di lembah Cinta begitu banyak cobaan dan ujian, yang dapat menyesatkan
seorang penuntut tasawuf. Hanya petunjuk Tuhan yang dapat menyelamatkan
seseorang yang berada dalam bahaya, dan petunjuk itu datang sesuai dengan
ikhtiar dan doa yang dipanjatnya sendiri di masa lalu dan doa yang dipanjatkan
orang-orang terdekat. Di lain hal kisah ini memberi isyarat bahwa cinta sejati
dapat mengatasi perbedaan keyakinan, sebab cinta mengutamakan yang hakiki dan
persatuan dengan jiwa kekasih, bukan untuk memperdebatkan perbedaan-perbedaan
lahir. Hikmah lain dari kisah ini bahwa cinta sejati dapat mendorong orang
melakukan perubahan atau transformasi diri sebagaimana terlihat pada Syekh
San`an atau pun gadis Yunani.
Walaupun cinta yang dialami Syekh San`an
dengan gadis Nasrani itu merupakan cinta profan, namun dari pengalaman tersebut
Syekh San`an memperoleh pelajaran tentang sifat-sifat cinta yang lebih tinggi.
Seperti dituturkan Syekh San`an ketika gadis Nasrani itu menyambut cintanya:
Malam-malam pengasingan yang sunyi
telah berlalu
Namun tak seorang dapat menyingkap
rahasia seperti itu
Siapa pun yang permohonannya
dikabulkan seperti aku malam ini
Siang dan malam-malamnya akan
dilalui dengan kebenaran cinta berahi
Pada siang hari nasibnya dicetak, malam
hari bentuknya disiapkan
Ya Tuhan, tanda-tanda menakjubkan
apa yang kusaksikan malam ini?
Apakah ini tanda Hari Kiamat? Akal,
kesabaran, kawan sejati – semua pergi
Cinta macam apa ini, derita macam
apa dan kepiluan macam apa?
Ketiga, ialah lembah kearifan atau
makrifat. Kearifan berbeda dengan pengetahuan biasa. Pengetahuan biasa bersifat
sementara, kearifan ialah pengetahuan yang abadi, sebab isinya ialah tentang
Yang Abadi. Kearifan merupakan laba yang diperoleh seseorang setelah memperoleh
penglihatan batin terang, di mana ia mengenal dengan pasti hakekat tunggal
segala sesuatu. Kearifan menyebabkan seseorang selalu terjaga kesadarannya akan
Yang Satu, dan waspada terhadap kelemahan, kekurangan dan keabaian dirinya
disebabkan godaan dan tipu muslihat ‘yang banyak’.
Makrifat dapat dicapai dengan
berbagai cara. Di antaranya melalui sembahyang yang khusyuk, latihan kerohanian
yang berdisiplin, penyucian diri sepenuhnya di hadapan Kekasih, dan pengisian
jiwa dengan pengetahuan yang bermanfaat bagi pertumbuhan rohani. Seseorang yang
mencapai makrifat akan menerima nur (cahaya) sesuai amal usahanya dan mendapat
peringkat kerohanian yang ditetapkan baginya dalam mengenal kebenaran ilahi.
Orang yang mengenal hakekat segala sesuatu akan memandang, dan bersikap
terhadap dunia melalui penglihatan hatinya yang telah tercerahkan. Ia tidak
lagi terpaku pada segala sesuatu yang bersifat embel-embel, sebab yang menjadi
perhatiannya ialah yang hakiki. Ia tidak sibuk memikirkan dirinya dan hasratnya
yang rendah, namun senantiasa asyik memandang wajah Sahabat atau Kekasihnya,
yang Maha Pengasih dan Penyayang itu (al-rahman al-rahim). Kearifan menjadi
rusak disebabkan dangkalnya pikiran, kesedihan yang berlarut-larut dan kebutaan
pandangan terhadap hakekat ketuhahan. Mata orang arif terbuka kepada Yang Satu,
bagaikan bunga tulip yang kelopaknya selalu terbuka kepada cahaya matahari.
Keempat. Lembah kebebasan atau
kepuasan (istighna). Di lembah ini tidak ada lagi nafsu memenuhi jiwa seseorang
atau keinginan mencari sesuatu yang mudah didapat dengan ikhtiar biasa. Karena
pandangan telah tercerahkan oleh kehadiran Yang Abadi, maka seseorang tidak
pernah melihat ada yang baru atau ada yang lama di dunia ini. Lautan tampak
sebagai setitik air di tengah wujud-Nya yang tak terhingga luasnya, dan dadanya
selalu lapang sebab dia mengetahui bahwa rahmat Tuhan tidak akan pernah
menyusut atau berkembang. Tujuan hidup tak berguna ditanggalkan dan seseorang
merasa cukup dengan rahmat yang dilimpahkan Tuhan. Di dunia dia hanya tinggal
bekerja, berikhtiar dan berusaha sesuai kemampuan dan pengetahuannya tentang
sesuatu, dan untung rugi dia pasrahkan kepada Kekasihnya. Untuk mencapai
tingkat ini, kata `Attar, seseorang harus melakukan kewajiban yang dipikulkan
kepadanya tanpa beban. Seseorang mesti meninggalkan sikap acuh tak acuh, masa
bodoh dan ketakpedulian terhadap masalah keagamaan, kemanusiaan dan sosial.
Lamunan kosong dan ketakpastian terhadap sesuatu yang tak memerlukan lamunan
dan keraguan harus diganti dengan keteguhan iman atau haqq al-yaqin. Kata
Hamzah Fansuri:
`Ilmu`l-yaqin nama ilmunya
Ayn`l-yaqin hasil tahunya
Haqq`l-yaqin akan katanya
Muhammad Nabi asal gurunya
Syariat akan ripainya
Tariqat akan bidainya
Haqiqat akan tirainya
Makrifat yang wasil akan isainya
Dengan demikian makrifat merupakan
bentuk pengetahuan tertinggi tentang hakekat. Keadaan yang rohani lahir
daripadanya ialah kedekatan (wasil) dengan Yang Satu. Rasa dekat ini dapat
timbul karena dia menyaksikan dengan mata batinnya bahwa Kekasih hanya Satu, tidak
dua. Istilah lain yang digunakan para sufi tentang keadaan ini ialah
musyahadah, artinya penyaksian bahwa Tuhan itu satu. Musyahadah menjamin
stabilitas jiwa dan pikiran seseorang, sebab benar-benar telah terpaut pada
tali Yang Satu. Istilah lain yang digunakan para sufi untuk keadaan ini ialah
haqq al-yaqin, yakni yakin secara mendalam bahwa kebenaran hakiki ialah Dia.
Keyakinan seperti itu sudah barang tentu mendatangkan kepuasan rohani dan
kebebasan daripada yang selain Dia. Jadi batas antara lembah makrifat dan
lembah isytighna tidak begitu jelas.
Menurut `Attar di lembah keempat ini
seseorang mesti menyibukkan diri dengan hal-hal yang bersifat hakiki dan utama,
mengabaikan hal-hal yang bersifat lahiriah atau yang semata-mata menyangkut
kepentingan diri sendiri. Seseorang mesti memperbanyak kerja kerohanian,
misalnya dengan ibadah, berderma. memperbanyak amal saleh, membangun pesantren,
menyebarkan kegiatan keagamaan dan sebagainya. Kata `Attar, “Di lembah ini
seseorang mungkin melakukan suatu kegiatan yang bermakna, tetapi ia tidak
menyadari.” Kalaupun menyadari ia tidak perlu menyombongkan diri. Lanjut
`Attar, “Lupakan segala yang telah kau perbuat, berikhtiarlah untuk bebas dan
cukupkan dengan dirimu sendiri, meskipun kau kadang mesti menangis dan
bergembira terhadap hasil-hasilnya. Di lembah keempat ini cahaya kilat
kesanggupan, yang merupakan penemuan sumber-sumber dirimu sendiri, kecukupan
dirimu, menyala begitu terang dan membara hingga membakar penglihatanmu pada
dunia.”
Kelima, lembah Tauhid. Di lembah ini
semuanya pecah berkeping-keping, kemudian menyatu kembali. Semua yang tampak
berlainan dan berbeda kelihatan berasal dari hakekat yang sama. Jadi di lembah
ini seseorang menyadari bahwa hakekat wujud yang banyak itu sebenarnya satu,
maksudnya manifestasi Cinta Yang Satu, yaitu rahman dan rahim-Nya.
Keenam, lembah Hayrat atau
ketakjuban. Di sini kita menjadi mangsa ketakjuban yang menyilaukan mata,
sehingga seolah-olah kita tenggelam dalam kebingungan dan timbul rasa duka yang
tak terkira. Betapa tidak. Siang berubah jadi malam, malam berubah siang.
Kemalangan tampak sebagai keberuntungan dan keberuntungan kelihatan sebagai
kemalangan. Untung rugi tak jelas batasnya. Orang yang mencapai lembah Tauhid
pada mulanya akan lupa atas segalanya, kemudian sadar bahwa bersama dirinya
ialah Yang Satu. Tetapi dia tidak tahu siapa yang bersama dengan dirinya. Jika
orang berada di lembah ini ditanya, dia akan menjawab: “ Aku tak tahu apa ini
fana’ (lenyap) atau baqa’ (hidup kekal) dalam Dia. Aku tak tahu apa ini nyata
atau tak nyata. Aku sedang bercinta, tetapi tidak tahu dengan siapa bercinta.”
`Attar memberi contoh “Kisah Seorang Putri Raja Yang Mencintai Hambanya”. Hamba
di sini melambangkan seorang salik yang tak memikirkan apa-apa lagi, yang
penting mengabdi, dan karena hanyutnya dalam pengabdiannya maka dia memancarkan
keindahan luar biasa. Putri raja diam-diam jatuh cinta kepadanya, dan dengan
dibius oleh dayang-dayangnya maka hamba itu pun dibawa ke peraduan sang putri,
diberi minuman dan makanan lezat, dihidangi tari-tarian dan musik yang indah,
sebelum keduanya beradu. Hamba tersebut mengalami semua itu antara sadar dan
tak sadar.
Ketujuh. Lembah Faqir dan Fana Faqir
artinya tidak memiliki apa-apa lagi, semuanya sudah terampas dari dirinya, kecuali
Cintanya kepada Yang Satu. Karena jiwanya hanya terisi oleh-Nya maka dia
sanggup mengurbankan diri asal saja diperinsahkan oleh Kekasihnya.. Kefakiran
menerbitkan keberanian menentang yang selain Dia, sebagaimana dimanifestasikan
dalam semangat jihad.. Kefakiran juga dijadikan landasan ethos dagang yang
melahirkan prinsip futuwwa (semangat satria pinandita). Dengan ethos demikian
organisasi-organisasi dagang Islam (ta`ifa) tumbuh pada abad ke-13 sebagai
organisasi sosial keagamaan yang dipimpin oleh ulama sufi. Ta`ifa aktif
menyebarkan agama Islam dengan didukung aktivitas perdagangan, pembinaan
kota-kota urban di pesisir dan pengembangan industri, dari mana terbentuk
pusat-pusat penyebaran agama Islam di Nusantara. Pada masa-masa genting
anggota-anggota ta`ifa, termasuk para pengrajin, santri, dan lain-lain, ikut
berjuang melawan musuh yang memerangi kaum Muslimin, termasuk kaum penjajah.
Fana’ ialah persatuan mistik,
manunggaling kawula Gusti atau Unio-mystica. Keadaan ini disusul dengan baqa’,
yaitu pengalaman hidup kekal dalam Tuhan. Apabila seseorang telah mencapai
tahapan ini, dia akan mengenal dirinya yang hakiki, dirinya yang universal, dan
dengan demikian mengenal sungguh-sungguh asal kerohaniannya. Hadis yang
mengatakan, “Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya”
dapat dijelaskan melalui uraian di atas. Di sini seseorang mengenal bahwa
dirinya benar-benar makhluk rohani, bukan sekedar mahluk jasmani dan nafsani.
Dia menyadari bahwa secara esensial manusia memang makhluk kerohanian, sebagaimana
dinyatakan al-Qur’an dengan istilah khalifah Tuhan di muka bumi, dan sekaligus
hamba-Nya. Sebagai khalifah Tuhan menjadi perantara antara alam rendah dan alam
tinggi.
Dengan indahnya `Attar menuturkan
dalam kitabnya yang masyhur itu:
Melalui kesukaran dan kehinaan
jiwanya burung-burung itu pun susut
Lantas hapus (fana’), sedangkan
tubuh mereka menjelma debu
Setelah dimurnikan maka mereka pun
menerima hidup baru
Dari limpahan Cahaya Tuhan di
hadirat-Nya
Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba-Nya
dengan jiwa segar
Sekali lagi di jalan lain mereka
binasa dalam ketakjuban
Perbuatan dan diam mereka di masa
lalu telah dienyahkan
Dan disingkirkan dari lubuk hati
serta dada mereka
Matahari Kehampiran bersinar terang
dari diri mereka
Jiwa mereka diterangi semua oleh
cahaya
Dalam pantulan wajah tiga puluh
(si-murgh)
Mereka lantas menyaksikan wajah
Simurgh yang sebenarnya
Apabila mereka memandang, yang
tampak hanya Simurgh:
Tak diragukan Simurgh ialah tiga
puluh ekor burung
Semua bingung penuh keheranan, tak
tahu apa mereka ini atau itu.
Mereka memandang diri mereka tak
lain adalah Simurgh.
Pada bagian lain `Attar menyatakan:
Bebaskan dirimu dari segaa yang
kaumiliki
Campakkan semua dari sisimu satu
demi satu
Lantas asingkan dirimu secara rohani
dari dunia
Apabila batinmu telah menyatu dengan
kefakiran
Kau akan bebas dari kebaikan dan
keburukan
Dan jika kebaikan dan keburukan
telah kaulalui
Kau akan menjadi seorang pencinta
`Attar mengakhiri kisah burung
menemui raja mereka Simurgh, yang tak lain ialah gambaran diri mereka yang
sejati, sebagai berikut: “Tahukah kau apa yang kaumiliki? Masuklah ke dalam
dirimu sendiri dan renungkan ini. Selama kau tak menyadari kehampaan dirimu,
dan selama kau tak meninggalkan kebanggan diri yang palsu, serta kesombongan
dan cinta diri yang berlebihan, kau tidak akan mencapai puncak keabadian. Di
jalan tasawuf kau muka-muka akan dicampakkan ke dalam lembah kehinaan, kemudian
baru kau akan diangkatnya ke puncak gunung kemuliaan”.
Mengenai pengetahuan tentang diri
itu Imam al-Ghazali mengatakan dalam kitabnya Kimiya-i Sa`adah (Kimia
Kebahagiaan), “Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya berada dalam
pengetahuan tentang hal-hal berikut: Siapakah anda, darimana anda datang?
Kemana anda akan pergi, dan apa tujuan anda datang serta tinggal sejenak di
sini, dan di manakah letak kebahagiaan anda?... Suatu bagian penting dari
pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari kajian dan renungan atas jasad kita
sendiri yang menampakkan kepada kita kebijaksanaan, kekuasaan serta cinta Sang
Pencipta. Manusia dengan tepatnya disebut `alam al-saghir (jagad cilik) dalam
dirinya. Susunan kerangka jasadnya mesti dipelajari, bukan saja oleh
orang-orang yang ingin menjadi dokter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin
mencapai pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana kajian yang
mendalam tentang keindahan dan corak bahasa pada sebuah puisi yang agung akan
mengungkapkan kepada kita lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya...
Tetapi di atas segalanya pengetahuan tentang jiwa dan kerohanian manusia lebih
penting sebab pengetahuan semacam itulah yang dapat membawa kita sampai kepada
pengetahuan tentang Tuhan.”
Referensi:
Uraian tentang cinta dalam karangan
ini merupakan ringkasan dari Bab II tesis penulis Estetika Sastra Sufistik:
Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Shaykh Hamzah Fansuri. Universiti Sains
Malaysia, P. Pinang, 1996. Tentang buku `Attar dapat dibaca terjemahan dalam
bahasa Indonesia oleh Hartojo Andangjaya, Musyawarah Burung. Jakarta:Pustaka
Jaya, 1982. Sajak-sajak Rumi diambil dari buku karangan penulis sendiri, Rumi,
Sufi dan Penyair. Bandung: Pustaka, 1985.
Sajak `Attar dalam tulisan ini
diterjemahkan dari edisi Edward Fitzgerald The Conference of the Birds. Penguin
Book: 1972 (reprint).